LET'S ENJOY MY BLOG

Jumat, 12 Desember 2008

MENGATASI KAIDAH EMAS SIMPATI DAN EMPATI

Kaidah emas menyuruh kita memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh mereka. Dalam kaidah ini terkandung asumsi kesamaan: bahwa orang lain seperti diri kita dan karena dia ingin diperlakukan sama. Kesamaan mengandung makna realitas yang tunggal dan mutlak. Dan pemikiran seperti itu adalaah dasa etnosentris. Kaidah Emas membawa kita pada strategi komunikasi simpati; yakni menganggap orang lain berpikir dan merasa seperti kita dalam menghadapi situasi yang sama. Untuk mengatasi Kaidah Emas kita harus mengasumsikan adanya pebedaan di antara orang orang dan adanya realitas ganda. Bila kita menggunakan prinsip ini, kita menggunakan straegi komunikasi empati; yakni secara imajinatif kita mengalami dunia dari perspektif orang lain. Kemampuan empati dapat dikembangkan dengan mengikuti enam langkah yang saling berkaitan. SIMPATI Simpati diartikan ”menempatkan diri kita secara imajinatif dalam posisi orang lain (bennett, 1972;66). Dari definisi ini harus dipahami bahwa kita tidak mengambil peran orang lain atau membayangkan bagaiman orang lain berpikir atau merasa, tetapi kita hanya merujuk bagaimana kita sendiri berpikiri atau merasa dalam situasi yang sama. Misalnya, jika saya memberitahukan kepada anda bahwa bibi saya baru meninggal dunia, anda bersimpati kepada saya dengan membayangkan bagaimana anda merasa jika bibi anda meninggal dunia. Definisi ini tidak terbatas pada penderitaan saja. Simapati terjadi juga jika saya ceritakan kepada anda bahwa saya baru saja mendapat warisan satu milyar rupiah dan anda menanggapinya dengan membayangkan bagaimana peasaan anda jika anda menjadi jutawan. Wispe dalam International Encyclopedia of the Social Sciences (1968): ”Dalam empati, kita memperhatikan perasaan orang lain; dalam simpati orang memperhatikan penderitaan orang lain, tetapi perasaannya adalah perasaannya sendiri. Perbedaaan antara simpati da empati bukan saja dalam tingkatnya dan bukan jugasubjek perhatiannya. Perbedaannya terletak pada perspektif yang diasumsikan. Dua cara merespons simpati kepada orang lain; merujuk memori kita sendiri, yang di sini kita sebut sebagai simpati ingatan (reminiscent sympathy); dan merujuk imajinasi kita dalaam situasi yang berbeda, di sini kita sebutsimpati imajinatif. Dengan teknik simpati igatan, kita mencari pengalaman masa lalu untuk situasi yang mirip dengan situasi yang diamati pada pengalaman orang lain. Teknik simpati ingatan yang tampaknya tidak terbantah itu adalah sebagian alasan mengapa bekas alkoholik, narapidana, skizoprenik, dan orang orang ”berpengalaman” lainnya seringkali dianggap sebagai penyuluh yang terpecaya dalam bidang pengalaman mereka. Simpati imajinatif meliputi perujukan imajinasi kita sendiri dalam situasi yang berbedan. Contohnya, reaksi saya ketikaanda menceitakan keselamatan anda yang menakjubkan dari kecelakaan mobil, saya mencari respons yang cepat dengan membayangkan bagaimana perasaaan saya dalam situasi tersebut. Tetapi bagaimanapun saya membayangkan perasaan saya, perasaaan saya tidak ada hubungannya dengan perasaan anda. KEUNTUNGAN SIMPATI 1. Simpati itu mudah. KebanYakan kita tidak merasa senang kalau menghadapi sesuatu yang tidak kita kenal. Kita lebih suka mengidentifikasikan fenomena dengan kategori yang sudah ada untuk kita. Kerangka rujukan yang paling kita kenal adalah diri kita sendiri. Jadi, kita lebih senang menggeneralisasikan diri kita kepada yang lain 2. Simapati dapat dipercaya. Kepercayaan adalah faktor utama keberhasilan simpati ingatan. Karena asusmsi kesamaan menyebar luas, banyak orang percaya bahwa situasi yang sama melahirkan pengalaman yang sama. Karena itu kita cenderung mempercayai orang orang yang telah mengalaminya. 3. Simapti seringkali cermat. Kecermatan pengertian simpati bukanlah akibat proses. Kecermatan berasal dari kecenderungan kita untuk berada di sekitar orang orang yang sama dengan kita. 4. Simapati mungkin menyenangkan. Kadang kadang orang merasa senag ketika mengetahui bahwa orang lain menghadapi situasi yang sama walaupun pengalamannya berbeda. KERUGIAN SIMPATI 1. Simpati tidak peka pada perbedaan. Walaupun kita berusaha keras untuk berinteraksi hanya denga orang orang yang betul betul sama, seringkali kita juga terjebak dalam situasi komunikasi ketika orang lain mungkin berpikir dan merasa berbeda dengan kita. Dalam situasi ini, pengerian simpati cenderung tidak cermat dan mungkin dapat menghambat komunikasi efektif. 2. Dalam menghadapi perbedaan simpati bersifat menggurui. Menggeneralisasikan kerangka rujukan kita mengandung arti etnosentrisme. Salah satu konotasinya bahwa pengalaman kita adalah ukuran terbaik untuk menilai dirinya. 3. Berhadapan dengan perbedaan simpati melahirkan sikap defensif, yaitumerasa pandangan dunia kita yang berbeda diabaikan atau dipandang rendah oleh orang lain, kita kita akan bersikap defensif untuk melindungi apa yang kita anggap sebagai organisasi fenomena yang berhasil 4. Simpati melestarikan asumsi kesamaan. Simpati bukan saja menjalankan Kaidah Emas, tetapi juga melestarikannya. EMPATI Empati sering didefinisikan sebagai berada pada posisi orang lain; sebagai simpati yang dalam; sebagai kepekaan pada kebahagiaan bukan pada kesedihan; dan sebagai sinonim langsung dari simpati. Empati didefinisikan sebagai ”Objective Motor Mimicry” (Lipps, 1907); sebagai memahami orang yang tidak mempunyai makna emosionalbagi kita (Freud, 1921); dan sebagai ”keadaan ketika pengamat bereaksii secara emosional karena ia mempersepsi orang lain sedang mengalami atau akan mengalami emosi (Stotland, 1978). Emapti sebagai ”partisipasi emosional dan intelektual secara imajinatif pada pengalaman orang lain (Bennet, 1972). Dalam empati, kita”berpartisipasi” bukan ”menempatkan”, dan kita berhubungan dengan ”pengalaman” dan bukan ”posisi”. Menempatkan diri kita dalam posisi orang lain mengasumsikan kesamaan pengalaman yang hakiki dengan orang lain. Sebaliknya, berpartisipasi dalam pengalaman orang lain tidak mengasumsikan kesamaan hakiki. Pengalaman orang lain mungkin saja sangat asing, walaupun posisinya sama. Kita harus memasuki kepala dan hati orang lain, berpartisipasi dalam pengalamannya seakan akan kita betul betul orang lain itu. MENGEMBANGKAN EMPATI Ada enam langkah dalam prosedur untuk menjadi petunjuk mengembangkan keterampilan empati, yaitu : 1. Mengasumsikan Perbedaaan. Jika kita menerima bahwa kita bisa saja berbeda menghadapi konstuksi dan situasi yang berbeda, maka kita kan bebas membayangkan pikiran dan perasaan kita dari perspektif yang lain. Selama kita dapat menghubungkan perspektif dari hasil bayangan kita dengan perspektif orang lain yang sebenarnya, maka barulah kita dapatmelakukan empati. 2. Mengenali Diri. Jika kita menyadari nilai, asumsi dan keyakinan individual secara kultural kita sendiri, yakni: bagaimana kita mendefinisikan identitas kita, maka kitatidak perlu takut kehilangan diri kita. Kita tidak akan kehilangan sesuatu yang dapat diciptakan kembali sekehendak kita. 3. Menunda diri. Identitas yang dipertegas pada langkah langkah untuk sementara dikesampingkan. Salah satu cara memikirkan prosedur ini adalah membayangkan bahwa diri atau identitas adalah batas arbitrer yang kita tarik antara diri kita dengan dunia yang lain, termasuk orang lain. Penangguhan diri adalah perluasan batas ini secara sementara menghilangkan pemisahan antara diri dan lingkungan. Pusat perhatian pada langkah ini adalah bukan pada menunda ”isi” identitas (asumsi, nilai, perangkat perilaku,dan seterusnya). Tetapi, fokusnya terletak pada kemampuyan mengubah dan memperluas batas. 4. Melakukan Imajinasi Terbimbing. Jika batas diri diperluas, perbedaan antara yanginternal dengan yang eksternal (subjektif dan objektif) dihapuskan. Dalam keadaan yang diperluas, kita dapat menggerakan perhatian kita ke dalam pengalaman peristiwa yang biasanya eksternal, bukan memusatkan perhatian kita kepada peristiwa tersebut. Geseran kesadaran ke dalam fenomena ini, yang biasanya tidak dihubungkan dengan diri, dapat disebut ”imajinasi”. Agar empati interpersonal yangcermat terjadi, kita harus membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam pengalaman orang lain tertentu. 5. Membiarkan Pengalaman Emapati. Jika kita membiarkan imajinasi kita dibimbing ke dalam diri orang lain, kita sedang mengalami seakan akan orang itu adalah diri kita sendiri. Walaupun pengalaman ini imajinatif, intensitas dan ”realitasnya” tidak selalu lebih rendah dari pengalaman biasa kita. Intensitas pengalaman empati kita bahkan bisa lebih besar, sejajar dengan intensitas drama yang kadang kadang lebih besar dari kehidupan. 6. Meneguhkan kembali Diri. Empati Interpersonal membiarkan penundaan identitas secara terkendali dan sementara untuk mencapai tujuan khusus, memahami orang lain. Jika tujuan ini tercapai, batas batas diri dapat ditegakkan kembali. Salah satu pengecualian diri ini mungkin saja berupa mempertahankan hubungan akrab di mana kita terlibat ” menjadi satu dengan orang lain”. Identitas diteguhkan kembali dengan, pertama tama, menciptakan lagi rasa keterpisahan antar diri kita dengan orang lain yang merupakan keadaan normal dalam kebudayaan kita. Jika perpisahan ini diperoleh kembali, isi pandangandunia kitasecara otomatis muncul lagidan dan dapat ditentukan pikiran dan perasaasn kita yang mana kepunyaan siapa. Mungkin jugaberguna mengontraskan reaksi simpati kita pada orang lain dengan pengertian empati. Dari kontar ini dapat muncul pengakuan yang jelas tentang perbedaan antar diri kita dan yang lain. Pengakuan ini yang memperkokoh perlunya empati

Kamis, 04 Desember 2008

TEORI PELURU DAN TEORI EFEK TERBATAS

1. TEORI PELURU ( Bullet Theory ) Tahun 1940, paska Perang Dunia I, ketakutan terhadap propaganda telah mendramatisasikan efek media massa. Harold Laswell membuat disertasinya tentang taknik-teknik propaganda pada Perang Dunia I. The Institute for Propaganda Analysis menganalisa teknik-teknik propaganda yang dipergunakan oleh pendeta radio Father Couglin. Pada saat yang sama, behaviorisme dan psikologi insting sedang popular di kalangan ilmuwan. Dalam hubungan dengan media massa, keduanya melahirkan apa yang disebut Melvin DeFleur (1975) sebagai “Instinctive S-R theory”. Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respon yang sama pada stimuli yang datang dari media massa. Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media massa, teori ini disebut juga “teori peluru” (bullet theory) atau model jarum hipodermis, yang menganalogikan pesan komunikasi seperti menyebut obat yang disuntikan dengan jarum ke bawah kulit pasien. Menurut teori ini, media menyajikan stimuli perkasa yang secara seragam diperhatikan oleh massa. Stimuli ini membangkitkan desakan, emosi atau proses lain yang hampir tidak terkontrol oleh individu. Setiap anggota massa memberikan respon yang sama pada stimuli yang datang dari media massa. Karena teori ini mengasumsikan massa yang tidak berdaya ditembaki oleh stimuli media massa, teori ini disebut juga “teori peluru” (bullet theory) atau model jarum hipodermis, yang menganalogikan pesan komunikasi seperti menyebut obat yang disuntikan dengan jarum ke bawah kulit pasien. Namun begitu, teori peluru tersebut mendapat serangan diantaranya dari Carl I. Hovland yang melakukan beberapa penelitian eksperimental untuk menguji efek film terhadap tentara. Ia dan kawan- kawannya menemukan bahwa film hanya efektif dalam menyampaikan informasi, tetapi tidak dalam mengubah sikap. Diikuti oleh Cooper dan Jahooda yang meneliti pengaruh film “Mr. Bigott” yang ditujukan untuk menghilangkan prasangka rasial bahwa persepsi seletif mengurangi efektivitas pesan. Serangan yang paling besar terhadap teori peluru adalah dari Paul Lazarfeld yaitu media massa hampir tidak berpengaruh sama sekali. Alih-alih sebagai “agent of conversion” (media untuk merubah perilaku), media massa lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Joseph Klapper (1960) menyimpilkan bahwa efek komunikasi massa terjadi lewat serangkaian faktor-faktor perantara. Faktor-faktor perantara itu termasuk proses selektif (persepsi selektif, terpaan selektif dan ingatan selektif serta proses kelompok, norma kelompok dan kepemimpinan opini). 2. MODEL EFEK TERBATAS (limited effects model) Model ini muncul sekitar tahun 1940, ketika para ilmuwan social menjadi tertarik oleh efek-efek langsung dan kuat yang ditimbulkan oleh media massa atas individu-individu. Penelitian-penelitian seperti, studi Erie County, studi Decatur, dan studi Elmira semuanya menunjukkan kesimpulan yang sama : pengaruh komunikasi massa Adalah terbatas, tidak all-powerfull, malahan sama sekali tidak efektif manakala tujuannya untuk menimbulkan sikap dan/atau prilaku nyata. Studi mengenai opinion leadership (studi Revorve), studi tentang keputusan konsumen (studi Decatur), dan lain-lain menunjukkan adanya peranan yang besar dari kontak-kontak antar pribadi. Tanpa hal ini komunikasi massa tidak dapat berbuat banyak. Joseph Kopler juga mengungkapkan bahwa komunikasi massa umumnya tidak bertindak selaku sebab utama bagi timbulnya efek di pihak kahlayak, melainkan lebih merupakan fungsi antara melalui jalinan faktor-faktor mediasi dan pengaruh. Faktor-faktor mediasi tersebut mencakup proses-proses seleksi, proses-proses kelompok, dan opinion leadership. Model efek terbatas ini memperoleh dukungan yang kuat dari model alir dua tahap. Effek yang kuat dan effek yang terbatas Joseph Klapper (dalam Littlejoh, 1996:344) meneliti efek komunikasi massa, serta mengembangkan tesisnya bahwa komunikasi massa tidaklah menjadi penyebab terpengaruhnya (efek) audiens, melainkan hanya sebagai perantara. Ada variabel lain yang menentukan. Jadi dalam hal ini media hanyalah sebagai turut memberikan kontribusi saja. Effek yang ada diantarai oleh faktor-faktor kelompok dan antarpersona dalam memilih di antara mereka. Anggota masyarakat juga selektif dalam menerima terpaan informasi dari media massa. Keterbatasan dari tradisi effek adalah karena masih berpola linear, padahal komunikasi tidak linear. Ia juga tidak bisa menjelaskan adanya kekuatan sosial yang bisa mempengaruhi media, bahkan individu pun bisa mempengaruhi media. Kelemahan lain dari tradisi effek adalah pada konsentrasi secara terpisah effek opini dan effek sikap, dan mengabaikan bentuk-bentuk effek dan fungsi lainnya. Tambahan lagi, keterbatasan tradisi effek, yakni penelitian ini hanya dilakukan dalam jangka pendek, tidak diulang pada saat lain sehingga mengabaikan variabel waktu. MEDIA DAN AUDIENS Ada dua versi pengertian audiens. Banyak ahli menganggapnya sama pengertiannya dengan massa secara beranekaragam dalam jumlah besar. Ada juga yang melihat sebagai kelompok-kelompok kecil atau komunitas kecil. Pengertian yang pertama (anekaragam kelompok massa) melihat audiens sebagai populasi yang besar jumlahnya dan bisa dibentuk oleh media. Sedangkan yang terakhir (komunitas kecil kelompok), audiens dipandang sebagai anggota dalam kelompok-kelompok kecil yang berbeda-beda, yang sebagian besar bisa dipengaruhi oleh kelompoknya. Dunia perpustakaan menganggap audiens sebagai pengguna informasi dan sumber-sumber informasi. Pengguna di sini masih dibedakan antara pengguna aktual dan pengguna potensial. Yang pertama adalah mereka yang sudah memanfaatkan jasa layanan perpustakaan apapun bentuk layanannya, sedangkan yang kedua adalah mereka yang belum sempat datang atau memanfaatkan jasa layanan perpustakaan dengan berbagai alasan. Kelompok pengguna potensial ini juga disebut sebagai masyarakat luas, atau anggota masyarakat luas. Audiens pasif dan audiens aktif. Audiens pasif maksudnya adalah pengertian yang menganggap bahwa masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh media. Mereka secara pasif menerima apa yang disampaikan media. Mereka menerima secara langsung apa-apa yang disampaikan oleh media. Sedangkan audiens aktif berlaku sebaliknya. Mereka lebih selektif dalam menerima pesan-pesan media. Mereka juga selektif dalam memilih dan menggunakan media. Ada kecenderungan bahwa teori masyarakat luas lebih cenderung dikaji dengan menggunakan teori audiens pasif, sedangkan masyarakat komunitas kelompok lebih banyak cenderung dikaji melalui pemahaman audiens aktif. Ciri-ciri audiens aktif bisa dilihat sifat-sifatnya seperti berikut: (1) Selektifitas. Audiens lebih selektif dalam memilih dan menggunakan media. Mereka tidak asal melihat, mendengar, atau membaca media yang disajikan di depannya. Mereka memilih satu atau beberapa media yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhannya. Contohnya, anggota kelompok masyarakat yang berpendidikan relatif tinggi, umumnya hanya membaca bahan bacaan atau media tertentu saja yang ada kaitannya dengan pekerjaannya saja, dan jarang sekali membaca media yang tidak relevan. (2) Utilitarianisme. Audiens aktif lebih banyak memilih media yang dianggapnya bermanfaat bagi dirinya karena sesuai dengan tujuan menggunakannya. (3) Intensionalitas. Audiens aktif lebih suka menggunakan media karena isinya, bukan pertimbangan aspek luarnya. (4) Keterlibatan atau usaha. Di sini audiens secara aktif mengikuti dan memikirkan penggunaan media. (5) Tidak mudah terpengaruh (impervious to influence). Di sini audiens tidak gampang dipengaruhi oleh media yang digunakannya.Kedua teori tersebut di atas memang masih terlalu sederhana dalam memandang kompleksitas masyarakat dalam menggunakan media. Padaha tidak sesederhana itu. Mereka tidak asal dibedakan antara yang aktif di mana tidak mudah dipengaruhi oleh media, dan yang pasif di mana masyarakat lebih mudah dipengaruhi oleh media. Di bagian yang akan datang kita akan berbicara tentang ini lebih banyak lagi. Teori teori komunikasi bermedia massa dan aspek-aspeknya Studi mengenai hasil-hasil atau akibat komunikasi media sudah banyak dilakukan di mana-mana, terutama di lingkungan pendidikan tinggi komunikasi dan sosial, juga pendidikan, perpustakaan dan informasi, psikologi, dan hukum. Mereka melihat media dari sisi mereka masing-masing. Terdapat dua sisi efek dari media, yakni efeknya terhadap budaya masyarakat secara keseluruhan, dan efeknya kepada anggota masyarakat secara individual. Pada bagian selanjutnya akan dibahas teori yang diakibatkan oleh media secara individual. Artinya efek yang ditimbulkan oleh media massa pada orang perorangan namun dilihat dalam konteksnya secara keseluruhan. Kita masih ingat bukan, tentang konsep orang atau manusia, yang selama hidupnya dipengaruhi oleh variabel personal dan variabel situasional. Sementara itu, orang, sebagai manusia, tidak pernah hidup sendirian, ia selalu berhubungan dengan orang lain, baik dalam kelompok kecil, sedang, besar, atau bahkan dalam hampir segala aspek kehidupannya. Termasuk di dalamnya adalah aspek media massa yang di jaman sekarang sudah menjadi bagian yang penting dalam kehidupan kita. Sekecil apapun orang membutuhkan media massa dan media massa pun tentu saja bisa hidup hanya oleh kinerja manusia. Ada hubungan fungsional antar keduanya.

Rabu, 03 Desember 2008

Komunikasi Antar Pribadi

• Defenisi Persepsi • Pengaruh persepsi terhadap KAP • Faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap KAP • Peranan persepsi terhadap KAP Persepsi merupakan proses dimana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita, persepsi mempengaruhi rangsangan (stimulus) atau pesan apa yang kita serap dan apa makna yang kita berikan kepada mereka ketika mencapai kesadaran. Persepsi sangat berpengaruh terhadap berlangsunganya proses komunikasi antar pribadi. Ketika memahami orang lain, kita dapat menduga karakteristik orang lain dengan memahami petunjuk eksternal dan internal. Maksudnya, keakuratan kita ketika mempersepsi orang lain tergantung kepada ketrampilan kita memahami petunjuk eksternal dari petunjuk verbal dari pihak ketiga, proksemik, kinesik, wajah, paralinguitik dan artefak. Sedangkan petunjuk internal meliputi pengalaman, kepribadian, dan motivasi. Berikut contoh dari bentuk pengaruh persepsi terhadap KAP dalam kehidupan sehari-hari. Suatu hari ketika saya bertemu seorang pria di sebuah pusat berbelanjaan, saya melihat penampilannya sepintas yang berantakan, dengan rambut yang gondrong, memakai kaos dan sandal. Karena itu saya mempersepsi orang tersebut sebagai preman. Sehingga saya sedikit takut ketika ia menegur saya bahkan mengajak berkenalan, hal ini membuat saya hanya berbicara seperlunya terhadap pria tersebut, karena menurut pengalaman stereotipe, kesan yang dibentuk dari orang yang berpenampilan seperti itu, dapat dikatakan bahwa ia preman dan mempunyai maksud jahat. Dan ketika saya mengunjungi sebuah kantor redaksi yang cukup ternama, saya bertemu seorang pria berkacamata yang berpakaian rapi, menggunakan jas, sepatu kulit, dan berjalan dengan gagahnya. Maka saya menjadi segan, sedikit rendah diri, dan berusaha untuk berperilaku santun ketika berbicara dengannya, karena saya berpersepsi bahwa ia seorang bos yang berwibawa dan terhormat. Faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap KAP: Sistem komunikasi interpersonal dimulai dengan pembahasan tentang faktor-faktor personal dan situasional yang mempengaruhi persepsi kita tentang orang lain. 1. Pengaruh faktor-faktor situasional pada persepsi interpersonal yaitu: • Deskripsi verbal yaitu, bagaimana rangkaian kata sifat menentukan persepsi orang. Seperti orang yang baik hati, ramah, humoris, mudah bergaul, membuat kita cenderung untuk membuka diri terhadapnya. Dan bila seorang yang suka berbohong, pemarah membuat kita berhati-hati padanya. • Petunjuk proksemik yaitu studi tentang penggunaan jarak dalam menyampaikan pesan. Contoh, ketika kita bertemu seorang ibu-ibu yang belum kita kenal tiba-tiba menjauh dari kita, karena ia merasa bahwa kita telah melanggar wilayah pribadinya. • Petunjuk kinesik yaitu petunjuk pada persepsi yang di dasarkan pada gerakan orang lain. Misal seseorang yang membusungkan dada maka menunjukkan bahwa ia orang yang sombong. Dan gerakan tangan berputar bila menggambarkan lingkaran. • Petunjuk wajah, yang menimbulkan persepsi yang bisa diandalkan. Seperti orang yang berwajah merah menujukkan ia sedang marah atau mungkin malu. • Petunjuk paralinguistik yaitu cara bagaimana orang mengucapkan lambang-lambang verbal, suara gemetar, siulan, gerutuan. Contoh suara yang kita pelajari melalui lingkungan, suara tinggi dan keras ditafsirkan marah. 2. Pengaruh faktor-faktor personal pada persepsi interpersonal yaitu: pengalaman, pola perilaku manusia sebenarnya didasarkan kepada persepsi mereka mengenai realitas sosial yang telah dipelajari. Persepsi manusia terhadap seseorang, objek, atau kejadian dan reaksi mereka terhadap hal-hal itu dipelajari dan berdasarkan pengalaman di masa lalu dengan obyek, orang atau kejadian yang sama. Sebagai contoh kita telah mengetahui dari pengalaman, bahwa ada seorang teman yang tiba-tiba diam, murung, tidak mau berbicara itu membuat kita berpersepsi bahwa ia sedang mempunyai masalah, sehingga mendorong kita ingin mengetahui apakah permasalahan yang sedang ia alami dengan meyakinkannya untuk menceritakan keadaannya pada kita. Motivasi, motif sering mempengaruhi persepsi kita, sebagai contoh bila kita melihat orang yang sukses, kita cenderung menanggapinya sebagai orang yang berkarakteristik baik. Faktor selanjutnya yaitu kepribadian, kepribadian adalah karakteristik yang membedakan satu individu dengan individu lainnya. Sebagai contoh kepribadian non-otoriter menurut Theodora Newcomb cenderung lebih cermat menilai orang lain, lebih mampu untuk menilai nuansa dibalik perilaku orang lain. Peranan persepsi terhadap KAP: Persepsi sangat berperan terhadap berlangsungnya proses KAP, dan dapat membangun hubungan (relationship) dalam KAP, hal ini dapat dilihat bahwa dengan mempersepsi suatu objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang kita peroleh dari factor situasional dan factor personal, maka suatu proses KAP dapat berjalan baik, karena kita telah mempelajari dan mengetahui dari pengalaman tentang objek atau peristiwa tersebut, sehingga membuat kita berhati-hati dan berusaha mengatur impression management kita dalam melangsungkan proses KAP.

LEAD

Jenis-jenis lead dan contohnya: Kebaruan: Bagi wanita hamil, saat ini tidak perlu khawatir akan sakit yang dialami saat melahirkan. Karena setahun belakangan ini, tim medis dari Amerika telah menemukan cara melahirkan bayi di kolam air yang disebut “water-birth” yang menurut sejumlah wanita yang telah mencobanya, proses kelahiran seperti ini mengurangi 40% rasa sakit dibanding saat melahirkan dengan proses biasanya. Narasi: Waljinah (69) duduk di bangku kayu yang mulai berderak saat digunakan bersama suaminya Warjito (72), dan putrinya Meilinda (37). Wajahnya menampakkan guratankeprihatinan hidup. Meskipun Waljinah hanya bekerja sebagai penjaja koran, ia tetap masih harus menanggung hidup putrinya yang mengalami keterbelakangan mental dan suaminya yang menderita penyakit 20 tahun terakhir ini. Gabungan (kutipan-narasi): Sebastian (28) terjepit di antara tumpukkan kursi bus yang mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan Tol Jakarta-Bogor pada sabtu (21/10) malam lalu. “Haduh....!!!” Saat dijumpai di ruang rawat RSUAM, ia terlihat kesakitan karena kakinya mengalami luka dalam yang cukup parah, badannya memar-memar, keningnya terbalut perban dan ia mengalami luka sobek di bawah bibirnya. Ditambah lagi gejala depresi usai mengalami peristiwa naas itu. Deskripsi: Di bawah sinar matahari pagi saat itu terlihat panorama pegunungan yang indah, terlihat beberapa orang sedang berolahraga terjun payung, di seberangnya terdapat perbukitan teh yang cukup luas. Dan juga cuaca yang dingin membalut tubuh kami saat bersantai di Puncak Pass, Cipanas-Jawa Barat minggu (20/10) pagi lalu. Sebuah tempat peristirahatan yang cocok bagi pengunjung yang akan berwisata ke daerah Cipanas setelah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan. Kutipan: “Harimau itu datang menerkam saya.” Ujar Susi korban kejadian naas itu semalam, usai mendapatkan perawatan intensif di RSUAM. Pertanyaan: Apa yang harus kita lakukan apabila melihat komplotan kapak nmerah yang akan beraksi? Tentu saja kita harus segera melaporkan pada pihak berwajib dan tidak menampakkan barang-barang mewah yang kita bawa. Aneh (Freak): Mangga dipanggang tak mengapa Bila dimakan akan akan menderita Manusia merenggang nyawa Karena digilakan oleh harta Inilah beberapa kata yang cocok terungkapkan untuk Hasyim (32) yang mengalami gangguan jiwa karena haus akan harta setelah ia gulung tikar dari usaha tekstil yang dilakoninya 5 tahun silam. Penggoda: Perpaduan Tiruan bunyi: Buuk...buuk...buuk... Suara bedug minggu (12/10) malam lalu, menandakan hari kemenangan umat islam. Terlihat di sepanjang jalan teuku umar, beberapa orang yang menaiki mobil truk berderet dengan membawa bedug di setiap truknya membunyikan bedug-bedug tersebut dengan semangat dan melantunkan Allahuakbar3X. Sapaan akrab: Bagaimana jika anak Anda mengalami nasib yang sama seperti Risya (5), korban penculikan jumat (23/08) beberapa bulan lalu seusai ia pulang sekolah. Tentu saja, tidak seorang pun orang tua yang menginginkan kejadian seperti itu terjadi oleh anaknya. Maka dari itu, sebagai masyarakat sosial kita hendaknya waspada terhadap orang-orang di sekitar kita dan jangan lalai dari pengawasan terhadap anak-anak kita. Gabungan (kutipan-deskripsi): “Maaf Pak, saya tidak akan mengulangi kejadian seperti ini lagi.” Ungkap Rodiah, salah satu PSK di kawasan Panjang Rabu (17/10) malam lalu kepada petugas Pol PP dengan wajah penuh penyesalan dan ketakutan akan kejadian yang dialaminya. Gabungan (kutipan-tiruan bunyi): Tuk...tuk...tuk... Suara kentongan itu terdengar sebagai pertanda gunung kelud akan mengeluarkan muntahannya. Sejumlah warga yang tinggal di sekitar itu berlarian menuju tempat pengungsian. “Tolong...tolong...!!!” terdengar suara wanita tua yang meminta tolong. Dengan cepat, Gito salah satu warga segera menolong wanita itu, ia teringat kejadian beberapa tahun silam ketika ibunya mengalami kejadian serupa seperti yang dialami wanita tua itu. Gabungan (kutipan-pertanyaan): Apa yang akan terjadi apabila dana untuk korban bencana alam disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab? Pemerintah seharusnya bertindak tegas kepada oknum-oknum yang terkait dalam masalah tersebut, seperti yang telah dijanjikan Bapak SBY, “Setiap pelaku tindakan korupsi, akan dihukum sesuai Undang Undang yang berlaku.” Gabungan (kutipan-sapaan akrab): Berhati-hatilah dimana pun, kapan pun Anda berada, karena saat ini kejahatan terjadi karena ada kesempatan. “Hindari pemakaian barang-barang mewah di tempat umum, karena hal seperti itu membuat pelaku kejahatan akan beraksi.” Ujar kepala Polres Bandar Lampung kepada wartawan yang ditemui selasa (23/10) siang di Polres Bandar Lampung. Gabungan (kutipan-kebaruan): Bagi anda penderita asma tidak perlu khawatir, karena saat ini telah ditemukan permen beraroma mint dengan campuran tanaman dari apotek hidup untuk penderita asma yang sedang kambuh. “Permen ini sangat berkhasiat bagi penderita asma dan tidak membuat ketergentungan.” kata Dokter spesialis asma di RSUAM, Dr. Syarief ketika ditemui di salah ruang pasien yang menderita asma, Senin (22/10) siang lalu.

GAMBARAN TENTANG PEREMPUAN DI MEDIA MASSA

I. “Iklan lebih banyak menayangkan sosok perempuan yang bekerja di rumah dan laki-laki di luar rumah.” Saya setuju dengan pernyataan gambaran perempuan di media massa yaitu iklan lebih banyak menayangkan sosok perempuan yang bekerja di rumah dan laki-laki di luar rumah. Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, dengan melihat beberapa sample iklan di televisi antara lain: • iklan obat batuk laserin • iklan Redoxon Calcium • iklan Telpon Rumah Telkom • ikln teh sarimurni sariwangi • iklan kecap bango versi buka puasa • iklan unilever versi ulang tahun ke-75 • iklan Sunlight versi pemberdayaan masyarakat. Dari 7 sample iklan tersebut, gambaran sosok perempuan di dalam cerita, karakter / penokohan dan aktivitas di dalam iklan-iklan tersebut menggambarkan sosok seorang perempuan yang bekerja di rumah, baik sebagai seorang ibu rumah tangga maupun sebagai ibu rumah tangga namun bekerja sambilan di luar rumah sambil mengurus anak. Sementara karakter / penokohan dan aktivitas kaum laki-laki di dalam iklan tersebut menggambarkan sosok seorang laki-laki yang bekerja di luar rumah, baik di kantor, nelayan, petani, dsb. II. “Tokoh pria memainkan peranan yang lebih besar pada perempuan” Saya setuju dengan pernyataan gambaran perempuan di media massa “ Tokoh pria memainkan peranan yang lebih besar pada perempuan”. Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan di keluarga besar saya sendiri, saya dapat mengidentifikasi bahwa: 1. Dalam pengambilan keputusan musyawarah antara kedua orang tua saya sendiri, biasanya ibu saya selalu meminta pendapat atau mengikkuti keputusan dan pilihan menurtu pendapat ayah saya. Misalnya dalam keputusdan sekolah mana yang akan dipilih oleh adik saya. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Ibu saya mengikuti pilihan ayah saya yang menurutnya sudah baik. Contoh yang saya sebutkan di atas acapkali kita lihat benang merahnya yang sedikit menyerupai cerita di atas di televisi, baik cerita di sinetron, iklan, dsb di Indonesia. 2. Saya yang berasal dari suku Lampung, Palembang, yang memiliki garis patrialisme bisa memberikan sedikit contoh ke patrialisme-an di dalam keluarga saya. Saya mengambil contoh pada keluarga paman saya. Beliau adalah anak ke-3 dari 5 bersaudara. Dua orang kakaknya perempuan, sementara 2 orang adiknya, laki-laki dan perempuan. Jika kita menelaah secara logika, seharusnya anak pertamalah yang biasanya memimpin di dalam keluarga. Tetapi tidak seperti itu yang terjadi pada keluarga paman saya. Beliau yang berstatus anak ke-3, justru lebih dominan berperan memimpin keluarganya, yang kebetulan sudah ditinggalkan oleh ayahandanya. Di dalam keluarga, beliau sering menentukan keputusan-keputusan penting menyangkut keluarganya. Misalnya, ketika kakak pertamanya ingin menikah, maka beliau-lah yang berperan sebagai sosok ayah di keluarganya. Beliau yang menentukan keputusan diizinkan atau tidaknya kakak pertamanya yang notabenenay perempuan menikah dengan pasangannya. Contoh lainnya, ketika ayahanda dari paman saya meninggal duni, secara logika, tentunya hak waris akan jatu ke tangan anak pertama, namun karena ke-patrialismean tadi, maka paman saya yang berstatus anak ke-3, dan anak laki-laki tertua di dalam keluarganya, sehingga beliau yang mendapat hak waris dominan di dalam keluarga. Berdasarkan contoh-contoh yang saya uraikan di atas, tentunya dapat disimpulkan bahwa kebanyakan di dalam kehidupan sehari-hari kita, pada umumnya laki-laki memang memainkan peranan yang lebih besar pada perempuan. Dari “kebiasaan”, masyarakat Indonesia tersebut acapkali tergambarkan melalui penokohan di media massa. Contoh lain yang bisa saya paparkan yaitu dari buku 100 tokoh di Indonesia tentang profil singkat orang yang berpengaruh di Indonesia, hanya terdapat 8 orang tokoh wanita yangberperan dan memiliki andil besar di Indonesia yaitu Mari Elka Pangerstu (perempuan ekonom yang trengginas), Martha Tilaar-perawat kecantikan pribumi, Megawati Soekarnoputri-perempuan hebat di Indonesia, Rachamawati Soekarno Putri, Meutia Hatta-pembela kaum perempuan, Mooryati Soedibyo-Pengusaha jamu terkemuka, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut)-sang putri Soeharto, Sri Mulyani Indrawati-sosok penting kebijakan keuangan. Dari kesemua contoh di atas dapat disimpulkan bahwa tkoh pria memainkan peranan yang lebih besar pada perempuan. III. “Tokoh perempuan lebih sedikit dibanding dengan tokoh laki-laki” Saya setuju dengan pernyataan di atas. Hal ini dibuktikan dari daftar 100 tokoh yang berpengaruh di dunia yang dikeluarkan oleh majalah TIME tahun 2008. Ternyata hanya beberapa saja nama-nama dari tokoh wanita yang disebutkan di dalamnya. Begitu pula dari uraian 100 peringkat nama tokoh dunia menurut Michael Hart yang dituliskan dalam bukunya, hanya terdapat 2 nama tokoh wanita yaitu Ratu Isabella I dan Ratu Elizabeth I, sedangkan yang lainnya adalah laki-laki. Sedangkan untuk 100 tokoh di Indonesia menurut sebuah buku yang berisi tentang profil singkat orang yang berpengaruh di Indonesia, hanya terdapat 7 orang tokoh perempuan didalamnya, yaitu: Mari Elka Pangerstu (perempuan ekonom yang trengginas), Martha Tilaar-perawat kecantikan pribumi, Megawati Soekarnoputri-perempuan hebat di Indonesia, Rachamawati Soekarno Putri, Meutia Hatta-pembela kaum perempuan, Mooryati Soedibyo-Pengusaha jamu terkemuka, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut)-sang putri Soeharto, Sri Mulyani Indrawati-sosok penting kebijakan keuangan. Hal ini terbukti memang lebih banyak tokoh laki-laki daripada tokoh perempuan melalui daftar urutan 100 tokoh berpengaruh baik di dunia maupun di Indonesia.

Analisis Framing

Analisis bingkai (frame analysis) berusaha untuk menentukan kunci-kunci tema dalam sebuah teks dan menunjukkan bahwa latar belakang budaya membentuk pemahaman kita terhadap sebuah peristiwa. Dalam mempelajarai media, analisis bingkai menunjukan bagaimana aspek-aspek struktur dan bahasa berita mempengaruhi aspek-aspek yang lain. (Anonimous, 2004:--). Analisis bingkai merupakan dasar struktur kognitif yang memandu persepsi dan representasi realitas. (King, 2004:--). Menurut Panuju (2003:1), frame analysis adalah analisis untuk membongkar ideologi di balaik penulisan informasi. Disiplin ilmu ini bekerja dengan didasarkan pada fakta bahwa konsep ini bisa ditemui di berbagai literatur lintas ilmu sosial dan ilmu perilaku. Secara sederhana, analisis bingkai mencoba untuk membangun sebuah komunikasi—bahasa, visual, dan pelaku—dan menyampaikannya kepada pihak lain atau menginterpretasikan dan mengklasifikasikan informasi baru. Melalui analisa bingkai, kita mengetahui bagaimanakah pesan diartikan sehingga dapat diinterpretasikan secara efisien dalam hubungannya dengan ide penulis. Beberapa model analisa bingkai telah dikembagkan: 1. Model Zhongdang Pan dan Gerald M. kosicki Model ini membagi struktur analisis menjadi empat bagian: a. Sintaksis adalah cara wartwan menyususn berita. Struktur sintaksi memiliki perangkat: 1. Headline merupakan berita yang dijadikan topik utama oleh media 2. Lead (teras berita) merupakan paragraf pembuka dari sebuah berita yang biasanya mengandung kepentingan lebih tinggi. Struktur ini sangat tergantung pada ideologi penulis terhadap peristiwa. 3. Latar informasi 4. Kutipan 5. Sumber 6. Pernyataan 7. Pentup b. Skrip adalah cara wartawan mengisahkan fakta.Struktur skrip memfokuskan perangkat framing pada kelengkapan berita: 1. What (apa) 2. When (kapan) 3. Who (siapa) 4. Where (di mana) 5. Why (mengapa) 6. How (bagaimana) c. Tematik adalah cara wartawan menulis fakta.Struktur tematik mempunyai perangkat framing: 1. Detail 2. Maksud dan hubungan kalimat 3. Nominalisasi antar kalimat 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti Unit yang diamati adalah paragraf atau proposisi d. Retoris adalah cara wartawan menekankan fakta.Struktur retoris mempunyai perangkat framing: 1. Leksikon/pilihan kata Perangkat ini merupakan penekanan terhadap sesuatu yang penting. 2. Grafis 3. Metafor 4. Pengandaian Unit yang diamati adalah kata, idiom, gambar/foto, dan grafis 2. Model William A. Gamson dan Andre Modigliani Model ini membagi struktur analisis menjadi tiga bagian: a. Media package merupakan asumsi bahwa berita memiliki konstruksi makna tertentu. b. Core frame merupakan gagasan sentral. c. Condnsing symbol merupakan hasil pencermatan terhadap perangkat simbolik (framing device/perangkat framing dan reasoning device/perangkat penalaran). Perangkat framing terbagi m enjadi lima bagian: a. Methaphors adalah perumpamaan dan pengandaian b. Catcphrase adalah perangkat berupa jargon-jargon atau slogan. c. Exemplaar adalah uraian untuk membenarkan perspektif. d. Depiction adalah leksikon untuk melebeli sesuatu. e. Visual image adalah perangkat dalam bentuk gambar, grafis dan sebagainya. Perangkat penalaran terbagi menjadi tiga bagian: a. Root merupakan analisis kausal atau sebab akibat. b. Appeals to principle merupakan premis dasar, klaim-klaim moral. c. Consequence merupakan efek atau konsekuensi.

Teori Teori dalam Komunikasi

Teori Semiotika Semiotika (semiotics) berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan (Broadbent, 1980). Semiotika (semiotics) adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli/pemikir dikaitkan dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada asumsi terhadap teori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics). Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika ini mengatakan bahwa semiotika “…pada prinsipnya adalah sebuah disiplin yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).” Definisi Eco cukup mencengangkan banyak orang, secara eksplisit menjelaskan betapa sentralnya konsep dusta di dalam wacana semiotika, sehingga dusta tampaknya menjadi prinsip utama semiotika itu sendiri. Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan. Umberto Eco menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk “mengungkapkan” apa-apa. Dia berpikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif untuk semiotika umum. Semiotik Semiotik atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotik lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ‘tanda’ atau ‘sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Secara umum, semiotik didefinisikan sebagai berikut. Semiotics is usually defined as a general philosophical theory dealing with the production of signs and symbols as part of code systems which are used to communicate information. Semiotics includes visual and verbal as well as tactile and olfactory signs (all signs or signals which are accessible to and can be perceived by all our senses) as they form code systems which systematically communicate information or massages in literary every field of human behaviour and enterprise. (Semiotik biasanya didefinisikan sebagai teori filsafat umum yang berkenaan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory [semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki] ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia). SISTEM TANDA, SEMIOTIKA TEKS DAN TEORI KODE Metode semiotika secara prinsip bersifat kualitatif-interpretatif dan dapat diperluas sehingga bersifat kualitatif-empiris. Metode kualitatif-interpretatif lebih berfokus kepada teks dan kode yang nampak secara visual sedang metode kualitatif-empiris membahas pada subyek pengguna teks (Yusita Kusumarini,2006). Sistem Tanda (Semiotik) Semiotik (semiotic) adalah teori tentang pemberian ‘tanda’. Secara garis besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, yaitu semiotik pragmatik (semiotic pragmatic), semiotik sintatik (semiotic syntactic), dan semiotik semantik (semiotic semantic) (Wikipedia,2007). Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic) Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya. Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic) Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas. Semiotik Semantik (semiotic semantic) Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya. TEORI SEMIOTIK Di dalam bidang filsafat, bidang linguistik hingga arsitektur dikenal beberapa tokoh yang mengungkapkan teori-teori mereka tentang semiotika. Teori semiotika tersebut biasa dikelompokkan menjadi teori semiotika dikotomi (yang dibagi menjadi dua bagian) dan trikotomi (yang dibagi menjadi tiga bagian). Teori semiotika yang banyak digunakan dalam pengkajian sistem tanda antara lain, Teori Semiotika Ferdinand De Saussure, Semiotika Roland Barthes, Semiotika C.K. Ogden dan I.A. Richard, dan Semiotika Charles Sanders Peirce. Semiotika Saussure Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Semiotika Barthes Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita Kusumarini,2006). Semiotika Ogden dan Richard Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda (signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier) itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna, konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud obyek/benda/fungsi aktual (Christian). Semiotika Pierce Teori ini dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce, seorang filsuf Amerika. Menurut Peirce, tanda adalah “…something which stands to somebody for something in some respect or capacity” (Noth, 1995). Menurut Peirce subjek berperan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pertandaan. Hal ini yang membuat eksistensi semiotika Peirce adalah semiotika komunikasi (Yusita Kusumarini,2006). Peirce mengelompokkan tanda menjadi 3 jenis, yaitu indeks (index), ikon (icon), dan simbol (symbol). Indeks adalah ungkapan ‘tanda’ atau representasi suatu obyek akibat hubungan dinamis antara obyek yang ‘diterima’ secara fisik dan mempengaruhi perasaan atau ingatan seseorang dalam pembentukan persepsinya. Ikon adalah ungkapan ‘tanda’ suatu obyek berdasarkan persepsi imajenatif yang mengkaitkan obyek tersebut dengan obyek lain yang belum tentu ada. Sedangkan simbol adalah ungkapan ‘tanda’ suatu obyek berdasarkan konsep tertentu, biasanya asosiasi terhadap suatu gagasan umum (Christian). Pada Indeks hubungan antara penanda dan petanda di dalamnya bersifat kausal, pada Ikon hubungan antara penanda dan petandanya bersifat keserupaan, sedangkan pada simbol hubungan antara penanda dan petandanya bersifat arbiter (Piliang, 2003). Semiotika Teks Pengertian teks secara sederhana adalah “kombinasi tanda-tanda” (Piliang, 2003). Dalam pemahaman yang sama, semua produk desain (termasuk arsitektur dan interior) dapat dianggap sebagai sebuah teks, karena produk desain tersebut merupakan kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan berfungsi (Yusita Kusumarini,2006). Dalam menganalisis dengan metode semiotika, pada prinsipnya dilakukan dalam dua tingkatan analisis, yaitu : • Analisis tanda secara individual (jenis tanda, mekanisme atau struktur tanda), dan makna tanda secara individual. • Analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi (kumpulan tanda yang membentuk teks), biasa disebut analisis teks. Untuk menganalisis tanda secara individual dapat digunakan model analisis tipologi tanda, struktur tanda, dan makna tanda (Piliang, 2003). Analisis tipologi tanda tersebut menggunakan teori semiotik pengelompokan tanda Charles Sanders Peirce. Sedangkan dalam hal analisis struktur tanda menggunakan teori semiotik Ferdinand de Saussure. Kemudian dalam menganalisis makna tanda dapat dilakukan dengan menggabungkan hasil analisis tipologi tanda dan struktur tanda. Gabungan analisis keduanya (tipologi tanda dan struktur tanda) akan menghasilkan makna tanda yang lebih kuat (Yusita Kusumarini,2006). Untuk menganalisis tanda secara kelompok atau kombinasinya (analisis teks), tidak hanya sebatas menganalisis tanda (jenis, struktur, dan makna) tetapi juga termasuk pemilihan tanda yang dikombinasi dalam kelompok atau pola yang lebih besar (teks) yang mengandung representasi sikap, ideologi, atau mitos tertentu (latar belakang kombinasi tanda). Ada beberapa model dan prinsip analisis teks, salah satunya yang diajukan oleh Thwaites (Piliang, 2003). Prinsip dasar analisis teks adalah polisemi (keanekaragaman makna sebuah penanda). Konotasi tanda berkaitan dengan kode nilai, makna sosial, dan berbagai perasaan, sikap, atau emosi. Tiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda yang melalui kode sosial tertentu menghasilkan konotasi tertentu (metafora dan metonimi menjadi bagian dari kombinasi tanda). Konotasi yang berbeda bergantung pada posisi sosial pembaca dan faktor lain yang mempengaruhi cara berpikir dan menafsirkan teks. Konotasi yang diterima luas secara sosial akan menjadi denotasi (makna teks yang dianggap benar). Denotasi merepresentasikan mitos budaya, kepercayaan, dan sikap yang dianggap benar Teori Kode Kode adalah seperangkat aturan atau konvensi (kesepakatan) bersama yang di dalamnya tanda-tanda dapat dikombinasikan, sehingga memungkinkan pesan dapat dikomunikasikan dari seseorang kepada yang lain (Eco, 1979). Di dalam kehidupan manusia banyak ditemukan penggunaan kode-kode sebagai perwujudan suatu makna tertentu. Salah satunya adalah budaya, budaya dapat dianggap sebagai kumpulan kode yang membentuk tingkah laku manusia, menjadi bermacam tingkatan dan cara, tergantung pada lingkungan. Ada 2 arti dari istilah “kode”. Pertama, kode menunjukkan bentuk status yang sistematis, aturan, dan sebagainya. Kedua, kode menyangkut suatu ide rahasia, satu set bentuk, huruf, atau simbol yang mengaburkan arti, dan dapat dipecahkan bila diketahui penyusunan pokok kode tersebut. Jika kedua aspek tersebut dikombinasikan (sistematis dan rahasia), maka kode tersebut kemudian dikenali sebagai kode kultur (culture code), yaitu mengarah dalam budaya yang tidak dikenal tetapi mempunyai struktur jelas dan spesifik. Pierre Guiraud mengemukakan 3 jenis kode, yaitu kode sosial, kode estetika, dan kode logika. Kode sosial berkaitan dengan hubungan pria-wanita, dan mencakup wilayah identitas dan tingkatan, aturan tingkah laku, mode, dan sebagainya. Kode estetika berkaitan dengan seni dan bagaimana menginterpretasi dan mengevaluasi seni. Sedangkan kode logika mencakup usaha kita untuk membuat sadar akan dunia dan pengetahuan ilmiah, dan sistem komunikasi tanpa bahasa (Berger, 2005). Kode ilmiah (logika) cenderung statis, kode estetika dan sosial terus mengalami perubahan (dinamis). Dalam membahas suatu hasil karya arsitektur, pembacaan kode menggunakan batasan kode teknik, kode sintagmatik, dan kode semantik (Yusita Kusumarini,2006). USES AND GRATIFICATIONS (KEGUNAAN DAN KEPUASAN) Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan (bahasa Inggris: Uses and Gratification Theory) adalah salah satu teori komunikasi dimana titik-berat penelitian dilakukan pada pemirsa sebagai penentu pemilihan pesan dan media. Pemirsa dilihat sebagai individu aktif dan memiliki tujuan, mereka bertanggung jawab dalam pemilihan media yang akan mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka dan individu ini tahu kebutuhan mereka dan bagaimana memenuhinya. Media dianggap hanya menjadi salah satu cara pemenuhan kebutuhan dan individu bisa jadi menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka, atau tidak menggunakan media dan memilih cara lain. Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kebutuhan menggunakan pendekatan dengan fokus “mengapa sekelompok orang memilih untuk menggunakan media tertentu dibandingkan kandungan isi yang ditawarkan”. Pendekatan ini secara kontras membandingkan efek dari media dan bukan ‘apa yang media lakukan pada pemirsanya’ (yang menitik beratkan kepada kehomogenan pemirsa dalam komunikasi masa dan melihat media sebagai jarum hipodermik). Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan dapat dilihat sebagai kecenderungan yang lebih luas oleh peneliti media yang membuka ruang untuk umpan balik dan penerjemahan prilaku yang lebih beragam. Namun beberapa komentar berargumentasi bahwa pemenuhan kepuasan seharusnya dapat dilihat sebagai efek, contohnya film horror secara umum menghasilkan respon yang sama pada pemirsanya, lagipula banyak orang sebenarnya telah menghabiskan waktu di depan TV lebih banyak daripada yang mereka rencanakan. Menonton TV sendiri telah membentuk opini apa yang dibutuhkan pemirsa dan membentuk harapan-harapan. Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan pada awalnya muncul ditahun 1940 dan mengalami kemunculan kembali dan penguatan di tahun 1970an dan 1980an. Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenhi kebutuhannya. Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya. Para teoritis pendukung Teori Penggunaan dan Pemenuhan Kepuasan berargumentasi bahwa kebutuhan manusialah yang mempengaruhi bagaimana mereka menggunakan dan merespon saluran media. Zillman sebagaimana dikutip McQuail telah menunjukkan pengaruh mood seseorang saat memilih media yang akan ia gunakan, pada saat seseorang merasa bosan maka ia akan memilih isi yang lebih menarik dan menegangkan dan pada saat seseorang merasa tertekan ia akan memilih isi yang lebih menenangkan dan ringan. Program TV yang sama bisa jadi berbeda saat harus kepuasan pada kebutuhan yang berbeda untuk individu yang berbeda. Kebutuhan yang berbeda diasosiasikan dengan kepribadian seseorang, tahap-tahap kedewasaannya, latar belakang, dan peranan sosialnya. Sebagai contoh menurut Judith van Evra anak-anak secara khusu lebih menyukai untuk menonton TV untuk mencari informasi dan disaat yang sama lebih mudah dipengaruhi. Elemen dasar yang mendasari pendekatan teori ini (Karl dalam Bungin, 2007): (1) Kebutuhan dasar tertentu, dalam interaksinya dengan (2) berbagai kombinasi antara intra dan ekstra individu, dan juga dengan (3) struktur masyarakat, termasuk struktur media, menghasilkan (4) berbagai percampuran personal individu, dan (5) persepsi mengenai solusi bagi persoalan tersebut, yang menghasilkan (6) berbagai motif untuk mencari pemenuhan atau penyelesaian persoalan, yang menghasikan (7) perbedaan pola konsumsi media dan (8) perbedaan pola perilaku lainnya, yang menyebabkan (9) perbedaan pola konsumsi, yang dapat memengaruhi (10) kombinasi karakteristik intra dan ekstra individu, sekaligus akan memengaruhi pula (11) struktur media dan berbagai struktur politik, kultural, dan ekonomi dalam masyarakat. Model Uses and Gratification. Teori Uses and Gratifications ini bertujuan untuk menjawab atau menjelaskan bagaimana pertemuan antara kebutuhan seseorang dengan media, atau lebih khusus lagi informasi yang terdapat dalam media, terutama media massa. Dalam teori ini, khalayak atau audiens, tidak lagi dipandang sebagai orang yang pasif menerima begitu saja semua informasi yang disajikan oleh media, akan tetapi mereka berlaku aktif dan selektif, serta juga kritis terhadap semua informasi yang disajikan oleh media. Asumsi dasar dari teori ini tetap berkisar pada keberadaan kebutuhan sosial seseorang dengan fungsi informasi yang tersaji pada media. Littlejohn (1989:274) mengusulkannya dengan tiga asumsi teoretisnya sebagai berikut: 1) Bahwa audiens atau masyarakat dalam komunikasi massa itu bersifat aktif dan mempunyai tujuan yang terarah 2) Anggota masyarakat atau audiens secara luas bertanggung jawab atas pemilihan media untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Artinya, masyarakat atau audiens itu tahu akan kebutuhan-kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. 3) Asumsi ketiga ini yang masih berkaitan dengan kedua asumsi di atas, yakni bahwa media harus bersaing dengan media lainnya dalam hal pemenuhan kebutuhan audiensnya.Berkaitan dari asumsi ini, sebelumnya Alexis S. Tan (1981:298) sudah menyebutkannya dengan empat buah yang pada dasarnya sama dengan ketiga asumsi di atas, hanya di sini lebih dipertegas lagi. 4) Bahwa masyarakat atau audiens sadar betul akan kebutuhan-kebutuhannya serta dianggap dapat melaporkannya jika dikehendaki. Di samping itu, mereka juga sadar akan alasan-alasan mengapa mereka menggunakan media. Dan sebagai pelengkap asumsi-asumsi di atas, Jalaluddin Rakhmat (1984:74) telah menambahnya satu lagi asumsi yang berkaitan dengan evaluasi budaya, yakni: 5) Penilaian arti kultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak. Dari adanya asumsi-asumsi di atas, tampak bahwa model ini tetap menitikberatkan pada masalah-masalah kebutuhan individu terhadap informasi yang disajikan oleh berbagai media dengan segala aspek yang melingkupinya, seperti yang tergambar dalam paradigma pendekatan model “uses and gratifications” ini, yakni: Struktur masyarakat –--- pemilihan media –--- penggunaan media –---- effek. (Littlejohn, 1996). Paradigma tersebut sudah tertentu polanya untuk model ini, yaitu selalu dimulai dari struktur dan lingkungan sosial yang menentukan berbagai kebutuhan individu. Kebutuhan individu ini pun banyak menentukan beragam pilihan atas media yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhannya, yang dalam hal ini bisa berupa pemenuhan kebutuhan yang non-media dan pemenuhan kebutuhan dengan media. Pada aspek kebutuhan pada media inilah yang menghasilkan “media gratification”, yakni berupa pengawasan atau penjagaan (surveillance), hiburan, identitas personal, dan hubungan sosial. Tentu saja model atau teori uses and gratifications ini tidak seluruhnya cocok jika diaplikasikan di tempat lain, terutama di Indonesia. Misalnya yang terlalu memaksakan diri jika diterapkan adalah pada fungsi gratifikasi media seperti diversion dan surveillance, juga pada fungsi nonmedia misalnya drugg (obat-obatan). Apakah kalau orang Indonesia sedang ‘pusing’ atau frustrasi, cara pelariannya dengan narkoba?. Mungkin ada yang seperti itu, namun itu sebagian besar hanya di film atau sinetron kita. Dalam bentuk lain, model tergambar di atas dijelaskan oleh Littlejohn (1989:277) secara lebih kompleks, namun masih tetap memenuhi asumsi-asumsi teoretis teori ini, yaitu yang diawali pada kondisi struktur masyarakat dan budayanya, termasuk struktur media dan teknologi media, juga lingkungan sosial, termasuk terdapatnya berbagai perilaku dan lain-lainnya, sampai kepada pencapaian pemenuhan kebutuhan model ini lebih lengkap menggambarkan gratifikasi konsumsi media massa secara terpadu. Lihat gambar atau diagram berikut: (Sumber: Littlejohn, 1996: 347). Model gratifikasi konsumsi media massa terpadu seperti tampak dalam gambar di atas, menunjukkan hubungan antara komponen satu dengan komponen lainnya. Misalnya, bahwa yang turut menentukan ghubungan seseorang dalam mencari informasi itu banyak macamnya, antara lain faktor masyarakat dan budayanya, termasuk struktur media dan teknologi media; faktor lingkungan sosial yang meliputi juga berbagai perilaku yang melingkupinya; juga faktor psikologis orang yang bersangkutan, meskipun yang disebutkan terakhir ini berhubungan secara timbal balik. Artinya kalau faktor-faktor psikologi banyak ditentukan oleh kebutuhan, maka faktor kebutuhan itu sendiri juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikologi. Disamping kebutuhan kebutuhan seseorang menentukan bentuk dan arah nilai orang yang bersangkutan, juga nilai-nilai ini masih banyak ditentukan oleh kondisi psikologis dan struktur masyarakat yang mengitarinya. Demikianlah secara berangkai, nilai-nilai masyarakat audiens tadi menentukan motif seseorang dalam memenuhi kebutuhan akan apa yang dicarinya, yaitu yang dalam hal ini informasi yang disajikan oleh media, termasuk media massa. Namun hal pencarian dan kebutuhan ini masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan orang yang bersangkutan, termasuk tentang harapan-harapannya tentang media dan nonmedia. Demikian seterusnya, setiap unsur dalam model “uses and gratifications” untuk konsumsi media secara terpadu ini berkaitan secara berangkai dan terkadang timbal balik sehingga keadaannya semakin kompleks dan rumit. Contoh rumitnya hubungan berangkai seperti itu misalnya adanya effek dari konsumsi media, yang disamping ia ditentukan oleh berbagai faktor yang antara lain adalah perilaku memilih media itu sendiri, juga motif orang mencari informasi guna memenuhi kebutuhannya, termasuk isi dari media yang menerpanya. Namun effek ini juga secara langsung turut menentukan nilai-nilai masyarakat atau seseorang, yang kedudukan atau kepercayaan-kepercayaannya dalam model ini juga sudah kompleks.Kepercayaan orang terhadap media juga termasuk harapan-harapannya tentang media dan alternatif nonmedia, contohnya yang dalam model pertama tadi disebut dengan keluarga, teman-teman, komunikasi interpersonal, hobi, tidur, dan obat-obatan. (Tan, 1981:299). TEORI AGENDA SETTING Teori Agenda Setting didasari oleh asumsi demikian. Teori ini sendiri dicetuskan oleh Profesor Jurnalisme Maxwell McCombs dan Donald Shaw. Menurut McCombs dan Shaw, “we judge as important what the media judge as important.” Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka kita juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri kita, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali. Denis McQuail (2000: 426) mengutip definisi Agenda Setting sebagai “process by which the relative attention given to items or issues in news coverage infulences the rank order of public awareness of issues and attribution of significance. As an extension, effects on public policy may occur.” Walter Lipmann pernah mengutarakan pernyataan bahwa media berperan sebagai mediator antara “the world outside and the pictures in our heads”. McCombs dan Shaw juga sependapat dengan Lipmann. Menurut mereka, ada korelasi yang kuat dan signifikan antara apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik. Awalnya teori ini bermula dari penelitian mereka tentang pemilihan presiden di Amerika Serikat tahun 1968. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara isi media dengan persepsi pemilih. Mc Combs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda media dapat terlihat dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan media terebut. Mereka melihat posisi pemberitaan dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan oleh redaksi. Untuk surat kabar, headline pada halaman depan, tiga kolom di berita halaman dalam, serta editorial, dilihat sebagai bukti yang cukup kuat bahwa hal tersebut menjadi fokus utama surat kabar tersebut. Dalam majalah, fokus utama terlihat dari bahasan utama majalah tersebut. Sementara dalam berita televisi dapat dilihat dari tayangan spot berita pertama hingga berita ketiga, dan biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau dialog setelah sesi pemberitaan. Sedangkan dalam mengukur agenda publik, McCombs dan Shaw melihat dari isu apa yang didapatkan dari kampanye tersebut. Temuannya adalah, ternyata ada kesamaan antara isu yang dibicarakan atau dianggap penting oleh publik atau pemilih tadi, dengan isu yang ditonjolkan oleh pemberitaan media massa. Mc Combs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat. Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum. News doesn’t select itself. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan mana yang bukan berita. Siapakah mereka? Mereka ini yang disebut sebagai “gatekeepers.” Di dalamnya termasuk pemimpin redaksi, redaktur, editor, hingga jurnalis itu sendiri. Dalam dunia komunikasi politik, para calon presiden biasanya memiliki tim media yang disebut dengan istilah ‘spin doctor.’ Mereka berperan dalam menciptakan isu dan mempublikasikannya melalui media massa. Mereka ini juga termasuk ke dalam ‘gatekeeper’ tadi. Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting makin menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari tu, kini media massa juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan menyebutnya sebagai framing. McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang teori agenda setting, bahwa “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it” (McCombs, 1997). Fungsi Agenda-Setting. Seperti sudah banyak diketahui orang bahwa media mempunyai kemampuan untuk membentuk issu kepada publik. Lingkungan yang sebenarnya demikian kompleks, sedangkan lingkungan yang dibentuk oleh media tidaklah mungkin mewakili secara lengkap kompleksitas lingkungan dimaksud. Namun demikian, karena fungsi dan kemampuan media yang seperti tadi itu, maka lingkungan bentukan media pun merupakan hal yang perlu diperhitungkan. Realitas penyetujuan atau pengalaman tidak langsung yang dikonstruksikan oleh media mempunyai pengaruh yang tidak sedikt terhadap perubahan yang terjadi pada masyarakat pemirsanya, baik perorangan maupun secara kelompok, dan bahkan budaya setempat. Realitas penyetujuan dalam hal ini maksudnya adalah kondisi dan situasi atau realitas yang ditayangkan oleh televisi, baik itu berupa fakta, fiksi, atau rekaan budaya filmis, seolah merupakan kenyataan dan fakta yang sebenarnya. Padahal, kondisi masyarakat yang ditayangkan oleh televisi tidaklah bisa mewakili pola budaya yang sebenarnya. Kita lihat contoh nyata untuk film dan sinetron kita sendiri. Seperti itukah kondisi masyarakat kita yang sebenarnya? Dampak dari media massa terhadap pemirsanya, melalui kemampuannya mempengaruhi perubahan kognisinya, struktur pemikirannya, dan kemampuan mempengaruhi perilaku pemirsanya (secara individual), dikenal dengan nama fungsi agenda-setting media komunikasi massa. Dengan kata lain, agenda setting membentuk issu-issu yang menonjol atau imej-imej dalam pikiran publik. Sebagai gatekeeper informasi, pers selektif dalam memilih berita yang akan dilaporkan, menentukan apa yang harus dilaporkan, dan bagaimana melaporkannya. rang akan cenderung terpengaruh oleh berita-berita dari media massa yang dibaca atau dipirsanya. Rumusannya merupakan tiga serangkai sebagai berikut: (1) Issu-issu utama yang (akan) dibahas dan diset dalam media, disebut media agenda; (2) Agenda media dalam beberapa hal mempengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang dipikirkan publik, disebut public agenda; dan (3) Publik agenda dalam beberapa hal mempengaruhi atau berinteraksi dengan pengambil kebijakan penting, disebut policy agenda. Secara sederhana teori itu bisa dikatakan bahwa: media agenda mempengaruhi public agenda, dan public agenda mempengaruhi policy agenda. Saling berkaitannya variabel-variabel tersebut bisa jadi tidaklah linear, melainkan bisa timbal balik, hanya besar dan sejauh mana tingkat keterpengaruhan itu bisa dijadikan bahan kajian lanjut. Kekuatan media banyak bergantung kepada hubungannya dengan pusat kekuasaan. Jika media erat hubungannya dengan para elit kekuasaan, maka ia akan terpengaruh oleh kekuasaan, dan media agenda juga bisa terpengaruh olehnya. Banyak ahli mengemukakan bahwa media bisa menjadi bagian dari ideologi dominant dalam masyarakat, dan jika ini terjadi, maka pada gilirannya ideologi dominan tersebut akan merembes ke dalam agenda publik. Contohnya di Indonesia jaman ORBA yang baru lalu, pers diarahkan menjadi pers pancasila, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab (konsep bebas dan bertanggung jawab juga masih tidak jelas). Kalau tidak sejalan dengan kemauan penguasa, SIUP-nya dicabut. Bahkan ledekannya adalah pers menjadi corong penguasa. Kondisi sekarang bagaimana? Kita lihat sama-sama, setidaknya sekarang jauh dari itu. Sekarang relatif lebih demokrasi. Pers yang relatif bebas diawali sejak lengsernya Soeharto dari singgasana presiden RI sekitar 21 Mei 1997, yang kemudian presidennya digantikan oleh BJ Habibie. Pada jaman Habibie itulah tampak sekali diawalinya pers yang relatif bebas. Kebebasan pers yang dimaksudkannya adalah pada pemilihan bahan berita dan sajian informasi lainnya yang diserahkan kepada wartawan dan lembaga media massa yang menaunginya. Tidak ada lagi pencabutan SIUP jika ada berita yang tidak mengenakkan pejabat. Segala urusan berkaitan dengan konflik dari adanya pemberitaan yang menyinggung orang atau pihak lain, diserahkan penanganannya kepada hukum yang berlaku TEORI DEPENDENCY Dependency Theory menjelaskan kekompatibelan mengenai argumentasi limited-effects dan powerful-effect dari media. Teori ini asalnya diusulkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin DeFleur pada tahun 1976 (dalam Littlejohn, 1996:348). Mereka mengusulkan pola hubungan terpadu antara audiens, media, dan sistem sosial secara luas.Titik sentral dari teori atau pendekatan ini adalah adanya audiens yang bergantung kepada informasi media untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan dan mencapai tujuan-tujuannya. Dengan demikian maka pendekatan ini masih konsisten dengan pendekatan model uses and gratifications. Tidak semuanya cocok memang jika dikaitkan pada kondisi masyarakat di jaman sekarang, terutama di Indonesia. Juga tidak semua aspek informasi sajian dari media massa yang sanggup mempengaruhi secara kuat sehingga audiens menjadi tergantung kepada media dimaksud. Dikaitkan dengan usia seseorang, misalnya, kekuatan media juga semakin berkurang. Hal ini bisa dilihat dari semakin kurangnya kelompok usia lanjut yang membaca dan memirsa televisi. Bahkan beberapa orang tertentu di desa-desa, meskipun ada televisi di rumahnya, para orang tua tidak tertarik untuk menontonnya. Hal-hal yang sedikit bisa diterima adalah, seperti yang terkadang kita rasakan, bahwa jika sehari saja kita tidak membaca surat kabar, atau buku, atau bahan bacaan lain yang menjadi kebiasaannya, terasa ada yang hilang. Demikian pula jika di rumah kita tiba-tiba aliran listrik mati, padahal kita sedang menonton acara televisi kegemarannya. Atau kita senentiasa mementingkan untuk menonton acara-acara televisi yang menyajikan informasi aktual untuk bahan pengayaan kita.Tanpa menonton televisi sehari saja terasa ada yang hilang. Kritik dan kelemahan Ada beberapa keterbatasan atau kelemahan dari teori uses and gratifications ini, antara antara lain sebagai berikut: (1) Pendekatan ini kurang mempunyai pertalian dengan teori-teori sebelumnya. Hal ini karena model ini merupakan lompatan dramatis dari model jarum hipodermik (2) Teori ini terlalu berorientasi kepada media yang fungsional sehingga mengabaikan disfungsionalnya media dalam masyarakat dan kebudayaannya. (3) Berkaitan dengan nomor b) di atas, media selanjutnya selalu dianggap mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu secara positif, sehingga mengabaikan dampak-dampak negatifnya. (4) Pendekatan ini terlalu berorientasi pada sifat-sifat rasional, behavioristik, dan individualistik. Orang dianggapnya sadar betul akan terpenuhinya segala kebutuhan melalui media, padahal banyak orang membaca atau menggunakan media tidak dengan tujuan yang jelas. (5) Teori ini tidak mempelajari sesuatu sedemikian rupa sehingga media dapat membentuk dan menggambarkan nilai-nilai budaya atau pola-pola kegiatan masyarakatnya. Dari beberapa kritik dan keberatan atas pendekatan atau teori uses and gratifications ini, orang dapat mengerti bahwa teori ini tidak sempurna, atau setidak-tidaknya masih banyak kelemahannya seperti diungkapkan oleh Alexis S. Tan (1981:303). Namun begitu, hingga saat ini, pendekatan ini masih banyak yang menggunakannya untuk kepentingan penelitian dan penelaahan ilmiah Perkembangan Teori Teori ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeachdan Melvin L. DeFluer (1976), yang memfokuskan pada kondisi struktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini berangkat dari sifat masyarakat modern, diamana media massa diangap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses memelihara, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat,kelompok, dan individu dalam aktivitas sosial. Dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L. DeFleur (1976), memfokuskan perhatian pada kondisi sruktural suatu masyarakat yang mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini pada dasarnya merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat pada gagasan mengenai sifat suatu masyarakat modern (masyarakat massa), di mana media massa dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat, kelompok atau individu dalam aktivitas sosial. SISTEM SOSIAL (tingkat stabilitas structural yang bervariasi) SISTEM MEDIA (jumlah dan sentralitas fungsi informasi yang bervariasi) KHALAYAK Tingkat ketergantungan pada informasi media yang bervariasi EFEK Kognitif, afektif, behavioral Pemikiran terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam masyarakat modern,khalayak menjadi tergantung pada media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang, dan orientasi kepada, dan apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Jenis dan tingkat ketergantungan akan dipengaruhi oleh sejumlah kondisi struktural, meskipun kondisi terpenting terutama berkaitan dengan tingkat perubahan, konflik atau tidak stabilnya masyarakat tersebut. Secara ringkas kajian terhadap efek tersebut dapat dirumuskan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Kognitif, menciptakan atau menghilangkan ambiguitas, pembentukan sikap, agenda-setting, perluasan sistem keyakinan masyarakat, penegasan/ penjelasan nilai-nilai. 2. Afektif, menciptakan ketakutan atau kecemasan, dan meningkatkan atau menurunkan dukungan moral. 3. Behavioral, mengaktifkan atau menggerakkan atau meredakan, pembentukan isu tertentu atau penyelesaiannya, menjangkau atau menyediakan strategi untuk suatu aktivitas serta menyebabkan perilaku dermawan. TEORI DIFUSI Model teori difusi inovasi digunakan untuk pendekatan dalam komunikasi pembangunan, terutama di negara berkembang seperti Indonesia atau dunia ketiga. Tokohnya Everett M. Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu dari para anggota suatu sistem sosial. Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran pesan - pesan sebagai ide baru, sedangkan komunikasi didefinisikan sebagai proses di mana para pelakunya menciptakan informasi dan saling bertukar informasi tersebut untuk mencapai pengertian bersama. Didalam pesan itu terdapat keermasaan ( newness ) yang memberikan ciri khusus kepada difusi yang menyangkut ketakpastian (uncertainty). Derajat ketidak pastian seseorang akan dapat dikurangi dengan jalan memperoleh informasi. Unsur utama difusi adalah (1) Inovasi, (2) yang dikomunikasikan melalui salura tertentu, (3) dalam jangka waktu tertentu, (4) diantara para anggota suatu sistem sosial. Inovasi adalah suatu ide, karya atau objek yang dianggap yang dirasakan oleh anggota suatu sistem sosial menentukan tingkat adopsi: (1) relative advantage (keuntungan relative), (2) compatibility (kesesuaian), (3) complexity (kerumitan), (4) trialability (kemungkinan di coba), (5) observability (kemungkinan diamati). Relative advantage adalah sustu derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik dari pada ide lain yang menggatinkaanya.derajat keuntungan tersebut bisa dihitung secar ekonomis, tetapi faktor prestasi sosial, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan unsur penting. Compatibility adalah suatu derajat dimana inovasi diraskan ajeg atau konsisten dengan nilai – nilai yang berlaku, pengalaman dan kebutuhan mereka yang melakukan adopsi. Complexity adalah mutu derajat dimana inovasi dirasakan sukar untuk dimengerti dan dipergunakan. Trialability adalah mutu derajat dimana inovasi di eksperimentasikan pada landasan yang terbatas. Observability adalah suatu derajat dimana inovasi dapat disaksikan oleh orang lain. Umumnya aplikasi komunikasi massa yang utama berkaitan dengan proses adopsi inovasi ( hal – hal / nilai baru ). Hal ini sangat relevan yang sudah maju. Kondisi perubahan sosial dan teknologi dalam masyarakat melahirkan kebutuhan yang dapat menggatikan metode lama dengan metode yang baru. Semua itu menyangkut komunikasi massa karena berada dalam situasi dimana perubahan potensial bermula dari riset ilmiah, dan kebijaksanaan umum yang harus diterapkan oleh masyarakat Salah satu aplikasi komunikasi massa terpenting adalah berkaitan dengan proses adopsi inovasi. Hal ini relevan untuk masyarakat yang sedang berkembang maupun masyarakat maju, Karen terdapat kebutuhan terus menerus dalam perubahan social dan teknologi untuk mengganti cara-cara lama dengan teknik-teknik baru. Teori ini berkaitan dengan komunikasi massa karen adalam berbagai situasi di mana efektivitas potensi perubahan yang berawal dari penelitian ilmiah dan kebijakan publik, harus diterapkan oleh masyarakat yang pada dasarnya berada di luar jangkauan langsung pusat-pusat inovasi atau kebijakan publik. Dalam pelaksanaannya, sasaran dari upaya difusi inovasi umumnya petani dan anggota masyarakat pedesaan. Praktik awal difusi inovasi dilakukan di AS pada tahun 1930-an dan sekarang banyak digunakan untuk program-program pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini pada prinsipnya adalah komunikasi dua tahap. Jadi di dalamnya juga dikenal pula adanya pemuka pendapat atau yang disebut juga dengan instilah agen perubahan (agent of change). Oleh karena itu teori ini sangat menekankan pada sumber-sumber non media (sumber personal, misalnya tetangga, teman, ahli dsb) mengenai gagasan-gagasan baru yang dikampanyekan untuk mengubah perilaku melalui penyebaran informasi dan upaya mempengaruhi motivai dan sikap. Everett M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker (1973) merumuskan teori ini dengan memberikan asumsi bahwa sedikitnya ada empat tahap dalam suatu proses difusi inovasi, yaitu: 1. Pengetahuan. Kesadarn individu akan adanya inovasi dan adanya pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi. 2. persuasi. Individu memiliki/membentuk sikap yang menyetujui atau tidak menyetujui inovasi tersebut. 3. keputusan. Individu terlibat dalam aktivitas yan membawa pada suatu pilihan atau mengadopsi atau menolak inovasi. 4. konformasi. Individu akan mencari pendapat yang menguatkan keputusan yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari keputusan sebelumnya jika pesan-pesan mengenai inovasi yang diterimanya berlawanan satu dengan yang lainnya. Teori ini mencakup sejumlah gagasan mengenai proses difusi inovasi sebagai berikut: 1. teori ini membedadakan tiga tahapan utama dari keseluruhan proses ke dalam tahapan anteseden, proses dan konsekuensi. a. Tahapan anteseden mengacu pada situasi atau karakteristik dari orang yang terllibat yang memungkinkannya untuk diterpa informasi tetntang suatu inovasi dan relevansi informasi tersebut terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya adopsi inovasi biasanya lebih mudah terjadi pada mereka yang terbuka terhadap perubahan, menghargai kebutuhan akan informasi dan selalu menari informasi baru. b. Tahap proses berkaitan dengan proses mempelajari, perubahan sikap dan keputusan. Disini nilai inovatif yang dirasakan akan memainkan peran penting, demikian pula dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam sistem sosialnya. Jadi kadangkala peralatan yang secara teknis dapat bermanfaat, tidak diterima oleh suatu masyarakat hanya karena alasan moral atau kultural atau dianggap membahayakan struktur hubungan sosial yang telah ada. c. Tahapan konsekuensi terutama mengacu pada keadaan selanjutnya jika terjadi difusi inovasi. Keadaan tersebut dapat berupa terus menerima dan menggunakan inovasi, atau kemudian berhenti menggunakannya lagi. 2. perlu dipisahkannya fungsi-fungsi yang berbeda dari pengetahuan, keputusan, dan konfirmasi, yang terjadinya dalam tahapan proses, meskipun tahapan tersebut tidak harus selesai sepenuhnya/lengkap. Dalam hal ini, proses komunikasi lainnya dapat juga diterapkan. Misalnya beberapa karakteristik yang berhubungan dengan tingkat persuasi. Orang yang tahu lebih awal tidak harus pemuka pendapat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa ‘tahu lebih awal’ atau ‘tahu belakangan’ berkaitan dengan tingkat isolasi-isolasi tertentu. Jadi, kurangnya integrasi sosial seseoranng dapat dihubungkan dengan ‘kemajuannya’ atau ketertinggalanya delam masyarakat. 3. difusi inivasi biasanya melibatkan sumber komunikasi yang berbeda (media masa, peiklanan, penyuluhan atau kontak-kontak sosial yang informal), dan efektivitas sumber-sumber tersebut akan berbeda pada tiap tahap, serta untuk fungsi yang berbeda pula. Jadi media massa dan periklanan dapat berperan dalam menciptakan kesadaran dan pengetahuan, penyuluhan berguna untuk mempersuasi, pengaruh antarpribadi bagi keputusan untuk menerima atau menolak inovasi, dan pengalaman dalam menggunakan inovasi dapat menjadi sumber konfirmasi untuk terus menerapkan inovasi atau sebaliknya. 4. teori ini melihat adanya variabel-variabel penerima yang berfungsi pada tahapan pertama (pengetahuan), karena diperolehnya pengetahuan akan dipengaruhi oleh kepribadian atau karakteristik sosial. Meskipun demikian, setidaknya sejumlah variabel penerima akan berpengaruh pula pada tahap-tahap berikutnya dalam proses difusi inovasi. Ini terjadi juga dengan variabel-variabel sistem sosial yang berperan utama pada tahap awal (pengetahuan) dan tahap-tahap berikutnya. TEORI KULTIVASI (CULTIVATION THEORY)Cultivation Theory Pernyataan Prabowo (2005, p.45) mengenai tinggi rendahnya kecemasan dipengaruhi oleh terpaan media, sejalan dengan yang dikemukakan oleh George Gerbner. Teori ini menyatakan bahwa dampak dari menonton tayangan televisi lebih besar berada pada sikap penonton daripadatataran perilaku atau kebiasaan mereka. Para pecandu berat televisi (heavy viewers) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di dunia televisi itulah duniasenyatanya. Anak-anak yang sering menonton tayangan film kekerasan akan melihat dunia sebagai penuh dengan kekerasan (Nurudin, 2003, p.157). Bahkan, anak-anak yang merupakan heavy viewers akan cenderung memperlihatkan tanda kecemasan, trauma, dan stress pasca-trauma dibandingkan dengan low viewers(Navarro, n.d, p.1). Jika dihubungkan dengan Cultivaton Theory, maka seharusnya responden yang memiliki terpaan informasi yang tinggi mengenai bahaya HIV/AIDS akan merasa lebih cemas dibandingkan dengan responden yang tingkat terpaan informasinya rendah. Cultivation Analysis Program penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural komunikasi massa dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti ini percaya bahwa karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang, dan mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia. Televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita. Dramanya, iklannya, beritanya, dan acara lain membawa dunia yang relatif koheren dari kesan umum dan mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi mengolah dari awal kelahiran predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa diperoleh dari sumber primer lainnya. Hambatan sejarah yang turun temurun yaitu melek huruf dan mobilitas teratasi dengan keberadaan televisi. Televisi telah menjadi sumber umum utama dari sosialisasi dan informasi sehari-hari (kebanyakan dalam bentuk hiburan) dari populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan kesan yang diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan simbolis umum. Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya (McQuail, 1996 : 254). Ada beberapa tahap riset yang dilakukan untuk meneliti mengenai agresi sebagai efek komunikasi massa. Di Amerika Serikat semenjak tahun 1950-an telah ada usaha untuk dilakukan untuk meneliti hubungan antara adegan kekerasan yang ditonton oleh khalayak dengan perilaku agresi. Riset yang dilakuakn ini mayoritas lahir disebabkan oleh karena ada kecemasan akibat semakin meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam televisi. Sebagai bukti tingginya tayangan kekerasan di televisi diperlihatkan dengan hasil riset analisis isi yang dilakukan George Gerbner di tahun 1978 yang menunjukan 80 sampai dengan 90 persen adegan yang ada dalam program televisi di Amerika Serikat berisi adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 234). Menurut Baron dan Byrne terdapat tiga fase riset mengenai kultivasi. Pertama adalah fase Bobo Doll, kedua adalah fase penelitian laboratorium dan ketiga adalah fase riset lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 1999 : 234). Fase pertama dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya yang mencoba meneliti apakah anak-anak yang melihat orang dewas melakukan tindakan agresi juga akan melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Seratus anak-anak setingkat taman kanak-kanak dibagi ke dalam empat kelompok, dengan treatment yang berbeda. Satu kelompok pertama melihat seorang dewasa menyerang boneka balon Bobo Doll sambil berteriak garang, “Hantam! Sikat hidungnya!”. Kelompok kedua dari anak-anak tersebut melihat tindakan yang sama dalam film berwarna pada pesawat televisi. Kelompok ketiga juga melihat adegan film televisi, namun yang tidak menampilkan adegan kekerasan. kelompok terakhir, sama sekali tidak diberi akses menonton adegan kekerasan sama sekali. Setelah treatment tersebut setiap anak diberikan waktu untuk bermain selama 20 menit sembari diamati melalui kaca yang tembus pandang. Di ruangan bermain disediakan Bobo Doll dan alat-alat permainan lainnya, dan terbukti kelompok pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, sebanayk 80 – 90 persen dari jumlah kelompok tersebut. Fase kedua penelitian kultivasi yang mencoba mengganti obyek perilaku agresif secara lebih realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan kekerasan diambilkan dari film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam adegan kekerasan, dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak dibumbui adegan kekersan sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menekan tombol merah yang dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada di ruangan lain. ternyata kelompok pertama lebih banyak dan lebih lama menekana tombol merah daripada kelompok kedua. Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975. Perilaku agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka waktu yang lama. kegiatan obyek yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali. Mereka dibagi kedalam dua kelompok, di mana kelompok pertama menonton lima film berisi adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok kedua menonton lima film tanpa adegan kekerasan. Selama seminggu itu pula perilaku mereka diamati secara intens, dan ternyata kelompok pertama lebih sering melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 243 – 245).

KOMUNIKASI YANG EFEKTIF

Tidak peduli seberapa berbakatnya seseorang, betapapun unggulnya sebuah produk, atau seberapa kuatnya sebuah kasus hukum, kesuksesan tidak akan pernah diperoleh tanpa penguasaan ketrampilan komunikasi yang efektif. Apakah anda sedang mempersiapkan presentasi, negosiasi bisnis, melatih tim bola basket, membangun sebuah teamwork, bahkan menghadapi ujian akhir gelar kesarjanaan, maka efektifitas komunikasi akan menentukan kesuksesan anda dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Kemampuan anda dalam mengirimkan pesan atau informasi dengan baik, kemampuan menjadi pendengar yang baik, kemampuan atau ketrampilan menggunakan berbagai media atau alat audio visual merupakan bagian penting dalam melaksanakan komunikasi yang efektif. Menurut penulis buku ini tidak ada seorang pun di dunia yang memiliki kemampuan atau pengetahuan dan pemahaman mengenai komunikasi sebaik yang dimiliki oleh William Shakespeare, sastrawan Inggris yang sangat terkenal di abad pertengahan, yang hingga saat ini masih dipandang sebagai referensi utama sastra dunia. Selama berabad-abad banyak sekali komunikator ulung di dunia yang mendapatkan inspirasi dan panduan dari karya-karyanya yang abadi. Buku ini justru menggali lebih dalam karya-karya sang jenius sastra ini dan mengaplikasikan inspirasi dari karya-karya tersebut dalam dunia komunikasi baik personal maupun dalam komunikasi bisnis. Karya-karya Shakespeare ternyata mampu memberikan pelajaran-pelajaran yang bernilai tinggi untuk menjadi komunikator yang efektif dan ulung, baik dalam dunia pekerjaan kita maupun dalam kehidupan pribadi kita. Ada lima komponen atau unsur penting dalam komunikasi yang harus kita perhatikan yaitu: pengirim pesan (sender), pesan yang dikirimkan (message), bagaimana pesan tersebut dikirimkan (delivery channel atau media), penerima pesan (receiver), dan umpan balik (feedback). Kelima hal inilah yang diuraikan dengan amat menarik melalui penggalan-penggalan frase dari karya-karya Shakespeare tersebut. Seperti penggalan syair berikut yang diucapkan oleh tokoh karakter Ulysses yang diambil dari karya Shakespeare yang berjudul Troilus and Cressida yang berbunyi: No man is the lord of anything, Though in and of him there be much consisting, Till he communicate his parts to others. Disinilah letak pentingnya kemampuan mengembangkan komunikasi yang efektif yang merupakan salah satu ketrampilan yang amat diperlukan dalam rangka pengembangan diri kita baik secara personal maupun profesional. Paling tidak kita harus menguasai empat jenis ketrampilan dasar dalam berkomunikasi yaitu: menulis – membaca (bahasa tulisan) dan mendengar – berbicara (bahasa lisan). Bayangkan betapa waktu-waktu kita setiap detik setiap saat kita habiskan untuk mengerjakan setidaknya salah satu dari keempat hal itu. Oleh karenanya kemampuan untuk mengerjakan ketrampilan dasar komunikasi tersebut dengan baik mutlak diperlukan demi efektifitas dan keberhasilan kita. Menurut Stephen Covey, justru komunikasi merupakan ketrampilan yang paling penting dalam hidup kita. Kita menghabiskan sebagian besar jam di saat kita sadar dan bangun untuk berkomunikasi. Sama halnya dengan pernafasan, komunikasi kita anggap sebagai hal yang otomatis terjadi begitu saja, sehingga kita tidak memiliki kesadaran untuk melakukannya dengan efektif. Kita tidak pernah dengan secara khusus mempelajari bagaimana menulis dengan efektif, bagaimana membaca dengan cepat dan efektif, bagaimana berbicara secara efektif, apalagi bagaimana menjadi pendengar yang baik. Bahkan untuk yang terakhir, yaitu ketrampilan untuk mendengar tidak pernah diajarkan atau kita pelajari dalam proses pembelajaran yang kita lakukan baik di sekolah formal maupun pendidikan informal lainnya. Bahkan menurut Covey, hanya sedikit orang yang pernah mengikuti pelatihan mendengar. Dan sebagian besar pelatihan tersebut adalah teknik Etika Kepribadian, yang terpotong dari dasar karakter dan dasar hubungan yang mutlak vital bagi pemahaman kita terhadap keberadaan orang lain. Stephen Covey menekankan konsep kesalingtergantungan (interdependency) untuk menjelaskan hubungan antar manusia. Unsur yang paling penting dalam komunikasi bukan sekedar pada apa yang kita tulis atau kita katakan, tetapi pada karakter kita dan bagaimana kita menyampaikan pesan kepada penerima pesan. Jika kata-kata ataupun tulisan kita dibangun dari teknik hubungan manusia yang dangkal (etika kepribadian), bukan dari diri kita yang paling dalam (etika karakter), orang lain akan melihat atau membaca sikap kita. Jadi syarat utama dalam komunikasi efektif adalah karakter yang kokoh yang dibangun dari fondasi integritas pribadi yang kuat. Kita bisa menggunakan analogi sistem bekerjanya sebuah bank. Jika kita mendeposito-kan kepercayaan (trust) kita, ini akan tergambar dalam perasaan aman yang kita miliki ketika kita berhubungan dengan orang lain. Jika saya membuat deposito di dalam rekening bank emosi dengan Anda melalui integritas, yaitu sopan santun, kebaikan hati, kejujuran, dan memenuhi setiap komitmen saya, berarti saya menambah cadangan kepercayaan Anda terhadap saya. Kepercayaan Anda menjadi lebih tinggi, dan dalam kondisi tertentu, jika saya melakukan kesalahan, anda masih dapat memahami dan memaafkan saya, karena anda mempercayai saya. Ketika kepercayaan semakin tinggi, komunikasi pun mudah, cepat, dan efektif. Covey mengusulkan enam deposito utama yang dapat menambah rekening bank emosi dalam hubungan kita dengan sesama. Berusaha benar-benar mengerti orang lain. Ini adalah dasar dari apa yang disebut emphatetic communication- komunikasi empatik. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita biasanya ”berkomunikasi” dalam salah satu dari empat tingkat. Kita mungkin mengabaikan orang itu dengan tidak serius membangun hubungan yang baik. Kita mungkin berpura-pura. Kita mungkin secara selektif berkomunikasi pada saat kita memerlukannya, atau kita membangun komunikasi yang atentif (penuh perhatian) tetapi tidak benar-benar berasal dari dalam diri kita. Bentuk komunikasi tertinggi adalah komunikasi empatik, yaitu melakukan komunikasi untuk terlebih dahulu mengerti orang lain – memahami karakter dan maksud/tujuan atau peran orang lain. Kebaikan dan sopan santun yang kecil-kecil begitu penting dalam suatu hubungan – hal-hal yang kecil adalah hal-hal yang besar. Memenuhi komitmen atau janji adalah deposito besar; melanggar janji adalah penarikan yabng besar. Menjelaskan harapan. Penyebab dari hampir semua kesulitan dalam hubungan berakar di dalam harapan yang bertentangan atau berbeda sekitar peran dan tujuan. Harapan harus dinyatakan secara eksplisit. Meminta maaf dengan tulus ketika Anda membuat penarikan. Memperlihatkan integritas pribadi. Integritas pribadi menghasilkan kepercayaan dan merupakan dasar dari banyak jenis deposito yang berbeda. Integritas merupakan fondasi utama dalam membangun komunikasi yang efektif. Karena tidak ada persahabatan atau teamwork tanpa ada kepercayaan (trust), dan tidak akan ada kepercayaan tanpa ada integritas. Integritas mencakup hal-hal yang lebih dari sekadar kejujuran (honesty). Kejujuran mengatakan kebenaran atau menyesuaikan kata-kata kita dengan realitas. Integritas adalah menyesuaikan realitas dengan kata-kata kita. Integritas bersifat aktif, sedangkan kejujuran bersifat pasif. Setelah kita memiliki fondasi utama dalam membangun komunikasi yang efektif, maka hal berikut adalah kita perlu memperhatikan 5 Hukum Komunikasi Yang Efektif (The 5 Inevitable Laws of Efffective Communication) yang kami kembangkan dan rangkum dalam satu kata yang mencerminkan esensi dari komunikasi itu sendiri yaitu REACH, yang berarti merengkuh atau meraih. Karena sesungguhnya komunikasi itu pada dasarnya adalah upaya bagaimana kita meraih perhatian, cinta kasih, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain. Hukum 1: Respect Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Ingatlah bahwa pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita bahkan harus mengkritik atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaaan seseorang. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim. Bahkan menurut mahaguru komunikasi Dale Carnegie dalam bukunya How to Win Friends and Influence People, rahasia terbesar yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berurusan dengan manusia adalah dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Seorang ahli psikologi yang sangat terkenal William James juga mengatakan bahwa ”Prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai.” Dia mengatakan ini sebagai suatu kebutuhan (bukan harapan ataupun keinginan yang bisa ditunda atau tidak harus dipenuhi), yang harus dipenuhi. Ini adalah suatu rasa lapar manusia yang tak terperikan dan tak tergoyahkan. Lebih jauh Carnegie mengatakan bahwa setiap individu yang dapat memuaskan kelaparan hati ini akan menggenggam orang dalam telapak tangannya. Charles Schwabb, salah satu orang pertama dalam sejarah perusahaan Amerika yang mendapat gaji lebih dari satu juta dolar setahun, mengatakan bahwa aset paling besar yang dia miliki adalah kemampuannya dalam membangkitkan antusiasme pada orang lain. Dan cara untuk membangkitkan antusiasme dan mendorong orang lain melakukan hal-hal terbaik adalah dengan memberi penghargaan yang tulus. Hal ini pula yang menjadi satu dari tiga rahasia manajer satu menit dalam buku Ken Blanchard dan Spencer Johnson, The One Minute Manager. Hukum 2: Empathy Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Secara khusus Covey menaruh kemampuan untuk mendengarkan sebagai salah satu dari 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti (Seek First to Understand – understand then be understood to build the skills of empathetic listening that inspires openness and trust). Inilah yang disebutnya dengan Komunikasi Empatik. Dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain. Rasa empati akan memampukan kita untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Oleh karena itu dalam ilmu pemasaran (marketing) memahami perilaku konsumen (consumer’s behavior) merupakan keharusan. Dengan memahami perilaku konsumen, maka kita dapat empati dengan apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, minat, harapan dan kesenangan dari konsumen. Demikian halnya dengan bentuk komunikasi lainnya, misalnya komunikasi dalam membangun kerjasama tim. Kita perlu saling memahami dan mengerti keberadaan orang lain dalam tim kita. Rasa empati akan menimbulkan respek atau penghargaan, dan rasa respek akan membangun kepercayaan yang merupakan unsur utama dalam membangun teamwork. Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima. Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apapun dengan sikap yang positif. Banyak sekali dari kita yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan. Oleh karena itu dalam kegiatan komunikasi pemasaran above the lines (mass media advertising) diperlukan kemampuan untuk mendengar dan menangkap umpan balik dari audiensi atau penerima pesan. Hukum 3: Audible Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel sedemikian hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hukum ini mengacu pada kemampuan kita untuk menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu audio visual yang akan membantu kita agar pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik. Dalam komunikasi personal hal ini berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau sikap yang dapat diterima oleh penerima pesan.